Rabu, 21 Desember 2011

IJTIHAT DALAM PENETAPAN HUKUM ISLAM

IJTIHAT DALAM PENETAPAN HUKUM ISLAM

Oleh : Tarmizi Zakaria

Al-Quran dan Sunnah merupakan dua sumber utama dalam penggalian hukum Islam. Apabila di dalam Al-Quran ditemukan ketentuan hukum yang jelas maka hukum itulah yang harus diambil. Namun bila tidak ditemukan di dalamnya, maka dicari dalam Sunnah. Dan Jika di dalam keduanya tidak terdapat ketentuan hukum atau hanya tersinggung secara samar, maka pencarian hukumnya melalui ijtihad atau ra'yi.

Ijtihad adalah mengerahkan kesungguhan dalam mengeluarkan hukum syara' dari apa yang dianggap syar'i seagai dalil yaitu kitabullah dan Sunnah nabiNya, ini ada dua macam yakni:
a. Mengambil hukum dari zhahir-zhahir nash apabila hukum itu diperoleh dari nash-nash itu.
b. Mengambil hukum dari ma'qul nash karena nash itu mengandung 'illat yang menerangkannya, atau 'illat itu dapat diketahui dan tempat kejadian yang di dalamnya mengandung 'illat, sedang nash itu tidak memuat hukum itu. inilah yang disebut dengan kiyas.(Hudhari Bik, hal. 256).


Praktek ijtihad telah dimulai sejak masa Rasulullah SAW masih hidup, baik oleh beliau sendiri maupun oleh para sahabatnya. Pada Umumnya ijtihad yang dilakukan Rasulullah adalah ketika terjadi peristiwa dan wahyu Al-Quran belum turun. Hasil ijtihad tersebut adakalnya dibenarkan Al-Quran dan ada juga yang disalahkan. Sedangkan ijtihad yang dilakukan para sahabatnya semasa Rasulullah masih hidup dengan cara memahami dan menafsirkan ayat Al-Quran dan juga petunjuk Rasul yang masih interpretable.

Pada generasi awal Islam, ijtihad telah dipraktekkan tanpa teori dan aturan formal yang mengikatnya. Setelah Rasul wafat, bentuk ijtihad dikembangkan dan dimodifikasi oleh para sahabat dan diteruskan para tabi'in kemudian generasi berikutnya. Pengembangan tersebut dilakukan sebagai tuntunan realitas zaman, setelah Islam berkenalan dan bersentuhan dengan kebudayaan asing.

Asimilasi tersebut menimbulkan problematika kehidupan yang tentunya harus dihadapi dan diselesaikan oleh mereka. Adalah sunnatullah bila perubahan zaman dan pergantian ruang menuntut adanya perubahan dan pembaharuan pemahaman. Dengan wafatnya Rasul, berarti wahyu (Al-Quran dan As-Sunnah) telah final dan berhenti. Namun problematika kehidupan terus bermunculan dan tidak pernah berhenti. banyak permasalahan yang sama sekali belum diberikan solusi hukumnya baik oleh Al-Quran maupun As-Sunnah. Atau keduanya telah menunjukkan ketentuan hukum secara jelas dan tegas, namun bila diaplikasikan sahabat saat itu menghasilkan keputusan yang kurang adil.

Reinterpretasi terhadap nash Al-Quran dan As-Sunnah yang sudah jelas dan tegas makna yang dikandung redaksinya, merupakan suatu keharusan. Petunjuk Allah dan RasulNya yang dituangkan dalam Al-Quran dan As-Sunnah bisa jadi kurang cocok apabila diterapkan pada suatu tempat dan masa yang telah berbeda situasi dan kondisinya dengan masa Rasul. Disamping itu, ketentuan hukum yang dirumuskan keduannya sangat mungkin dipengaruhi sosiokultur saat itu. Pengaruh ini tentunya menjadi faktor yang harus diperhatikan di dalam memahami dan menafsirkan makna kandungannya.

Oleh karena itu, ijtihad bukanlah menggali hukum yang belum ada ketentuan nashnya sama sekali, atau nashnya masih zanni saja, melainkan hukum-hukum yang sudah ditentukan secara jelas dan tegas (qat'i) tetap memerlukan ijtihad. Di sinilah peranan penting ijtihad dalam meyelesaikan problematika hukum Islam. Melalui Ijtihadlah hukum Islam akan mampu menjawab tantangan zaman.

Dengan memperhatikan dampak yang ditimbulkan dari limitasi tersebut, dan menyadarinya sebagai hasil pemikiran manusia, maka perlu perenungan ulang sehingga dapat diketahui titik terangnya, setelah itu memperbaruinya. Jadi pembaruan di sini bukan berarti merombak dan menafikan yang sudah ada, melainkan menyusunnya kembali sehingga sejalan dengan dinamika masyarakat, dan sifat dinamis serta elastisnya hukum Islam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar