Selesai mengisi pengajian, 3 orang jamaah menghampiri sang ustad setelah shalat isya berjamaah. Tampak masih ada ketidak puasan dalam raut wajah mereka atas penjelasan sang ustad saat pengajian tadi. Tidak mau ketinggalan, saya pun ikut dalam rombongan itu (jamaah yang penasaran maksudnya). Sebenarnya saya punya persoalan sendiri yang harus saya temukan jawabannya pada malam itu dan sang ustad muda itu menjadi icaran saya. Berhubung mereka lebih tua maka saya undur diri dan mendahulukan mereka (padahal emang udah duluan mereka itu).
Dari jarak yang tidak terlalu jauh, saya memperhatikan dan mendengarkan dengan seksama percakapan jamaah tersebut dengan sang ustad yang terlihat seru banget gitu. Yang mereka pertanyakan adalah masalah hubungan antara tauhid dan keimanan. Satu masalah yang sangat penting dan memang harus diapahami betul oleh insan yang mukallaf, bisik saya. Namun tidak perlu saya jelaskan persoalan tersebut panjang lebar disini, toh, ada banyak referensi yang membahas panjang lebar masalah itu. Saya cuma akan mengisahkan
sebuah cerita menarik yang sempat muncul dalam dialog tersebut. Begini ceritanya:
Dikisahkan, ada seorang anak tinggal dengan ibu shalihah disebuah rumah sederhana. Sang ibu setiap hari selalu meyuruh anaknya setiap akan makan untuk meminta makanan kepada Allah bukan kepada dirinya. Sang anak yang penurut itu pun tidak pernah lupa amanah ibunya, dia melaksanakan perintah itu setiap hari. Apabila lapar melanda, dia selalu menengadahkan tangannya di jendela rumah dan mengucap sebait doa dengan penuh keyakinan, "Ya Allah, berilah saya makanan". Saat si anak itu berdoa, rupanya si ibu sudah menyiapkan makanan di meja untuk disantap tanpa sepengetahuan si anak. Kejadian itu terus berulang setiap harinya.
Tibalah disuatu hari, persediaan makanan didapur menipis, beras habis, sayur-mayur habis, gula habis, garam habis, kecuali piring, sendok, kompor dan peralatan sejenis. Si ibu mulai gelisah apalagi kondisi ekonominya juga mulai kritis. Tidak ingin melihat anaknya nanti kelaparan dan nangis-nangis maka sang ibu pergi ke tukang keris (lho! kok ke tukang keris? maskud saya ke pasar, tapi jalan pasarnya lewat tukang keris, hehe). Dikarenakan satu dan lain hal, si ibu terlambat pulang. Dia mulai bimbang dan gelisah apabila suatu kejadian yang tidak diinginkan menimpa buah hatinya.
Dirumah, si anak mulai lapar, dan seperti biasa dia pun mulai berdoa kepada Allah. Tidak berselang lama si ibu sampai dirumah. Alangkah terkejutnya dia, saat melihat makanan nikmat tidak seperti yang biasa ia hidangkan tersaji indah dimeja makan dan si anak melahab dengan tenang. si ibu bertanya, "Nak. Darimana mana makanan itu?". Sambil memegang paha ayam goreng si anak menjawab, "kok ibu nanyak gitu sich, kan ini dari Allah". Tidak percaya dengan jawaban si anak, ibu bertanya lagi "Jawab yang jujur nak, darimana makanan itu dan siapa yang beri?". "Makanan ini pemberian Allah bu, bukankah ibu selalu menyuruh untuk meminta makanan kepada Allah?!" jawab si anak, lugu. Sang ustad menutup ceritanya.
Setelah menyimak cerita itu, kami pun disuruh oleh sang ustad untuk mengambil sendiri hikmahnya dan mulai beranjak keluar mesjid. Tapi ustadnya saya tahan dulu, soalnya ada persoalan antara kami berdua yang belum diselesaikan dan itu bersangatan penting ting!
Meskipun ceritanya tidak begitu seru, sebab saya bukan dalang atau pedongeng yang mampu merangkai sebuah cerita menarik, tapi kisah tersebut tetap memberikan hikmah berharga bagi kita. Secara garis besar hikmah yang terkandung dalam cerita ini adalah menggantungkan hidup ini sepenuhnya kepada Allah, bukan kepada manusia, apalagi kepada manusia yang sudah meninggal dunia atau kepada benda-benda tertentu yang dianggap keramat.
Allahu'alam.....
Assalamu'alaikum, itu ceritanya nyata atau tidak akhi...?
BalasHapusUstadnya ga bilang itu nyata atau tidak, hehe
BalasHapus