Jumat, 21 September 2012

STOKEN BERJALAN

Mungkin ada yang masih bertanya, apa itu stoken?? padahal itu merupakan sebutan lain dari kaos kaki. Stoken sebenarnya berasal dari kata stocking yang artinya kaos kaki. Begitu kena lidah orang Aceh maka terpelesetlah dia jadi stoken atau itoken. Stoken adalah sarung kaus yang khusus digunakan pada kaki, konon, stoken sudah ada sejak jaman batu. Seiring dengan kemajuan zaman maka bentuk, warna dan bahan untuk membuatnya juga ikut berubah-ubah sesuai dengan selera pemakainya.

Tulisan ini bukan bermaksud ingin membahas tentang cara membuat, desain terbaru, sejarah, prospek pasarnya ataupun dampak negatif yang ditimbulkan oleh kaos kaki apabila terus-menerus dipakai tanpa dicuci. Namun lebih mengarah ke dampak pelanggaran cara berpakaian khususnya bagi wanita-wanita Muslimah dimanapun mereka berada. Sebenarnya tidak pantas disebut pelanggaran, sebab cara berstoken tidak ada aturan khusus atau terdapat dalam Undang-undang RI bahkan dalam Piagam PBB pun tidak terpikir sama sekali saat draftnya disusun. Pepatah mengatakan lain ladang lain belalang, lain tempat lain aturan. Stoken akan menjadi masalah jika pakaian yang dulunya pasangan bagi celana pendek ini dipakai oleh wanita yang berada dalam wilayah yang mengatur cara berbusana bagi rakyatnya, salah satunya Aceh.
 

Undang-undang No. 18 tahun 2001 menetapkan pemberlakuan syariat Islam di seluruh wilayah Provinsi Aceh. UU tersebut mengamanahkan bagi setiap orang yang bertempat tinggal atau berada di Aceh wajib menghormati pelaksanaan syariat Islam. Terkait dengan busana terdapat anjuran diantaranya; (1) Setiap orang Islam wajib berbusana Islami. (2) Pimpinan instansi pemerintah, lembaga pendidikan, badan usaha dan atau institusi masyarakat wajib membudayakan busana Islami di lingkungannya. 

Ketentuan penggunaan busana muslim ini tidak hanya berlaku bagi wanita saja akan tetapi juga berlaku bagi kaum pria. Namun demikian, pada tataran pelaksanaannya di lapangan, penerapan aturan berbusana yang Islami ini lebih ditekankan pada wanita. Alasannya jelas bahwa wanita memiliki batasan-batasan aurat yang lebih banyak daripada pria.

Mulai dari bawah hingga ke atas tubuh wanita adalah aurat kecuali wajah dan kedua telapak tangan. Keseluruhan tubuh wanita tentu wajib tertutup dengan sempurna tidak boleh setengah-setengah. Fenomena yang muncul sekarang adalah cara berpakaian muslim setengah-setengah. Kadang atas sempurna bawah tidak, ataupun sebaliknya. Disinilah pemandangan penyalahgunaan stoken merebak pada kalangan Muslimah Aceh. 

Mulai dari alasan ikut mode sekedar ikutan atau karena kurang ilmu, sekarang pakaian ketat ini menjadi sebuah gaya berbusana yang dianggap tidak tabu lagi untuk dipakai bukan pada tempatnya. Stoken masa kini sudah berubah fungsi muncul sebagai celana panjang ketat yang melingkar pada tubuh wanita. Bukanlah sebuah masalah jika pakaian tersebut dipakai sebagai pelengkap busana bagi Muslimah yang ingin menjaga auratnya dengan memakai pakaian tambahan misalnya rok atau yang sejenis di luarnya. Tapi yang terjadi sekarang dengan pedenya para wanita yang hanya sekedar menggunakan stoken, tentu sesudah menutup aurat bagian atas, ke luar rumah baik ke pasar, ke acara-acara penting atau hanya sekedar berkumpul bersama tetangga dengan tidak merasa malu sedikitpun lekukan kaki, paha bahkan, maaf, pantatnya sekalipun terpampang bebas dilihat orang yang bukan mahramnnya. Ironis memang, padahal wanita adalah aurat.

Mereka memang berpakaian tapi telanjang. Mereka bukan menutup aurat tapi membungkusnya. Oleh karena itu dilarang bagi wanita mengenakan pakaian yang ketat kecuali di hadapan orang yang boleh melihat auratnya, yaitu suami mereka. Maka sesungguhnya tidak ada aurat antara suami dan istri. Berdasarkan
firman Allah ta’ala : "Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri
mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam
hal ini tiada tercela.” (QS. Al Mu’minun : 5-6).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar