Kamis, 16 Agustus 2012

SHALAT TARAWIH DI KAMPUNGKU


Mesjid Baitul Huda Dikampungku
Salah satu ibadah yang dinantikan saat Ramadhan adalah shalat tarawih. Bahkan Ramadhan sudah sangat identik dengan shalat sunat ini, selain tadarrus al-Quran, bersedekah atau mudik. Pelaksanaan tarawih disetiap tempat tentu berbeda-beda, ada yang 8 rakaat tambah witir, ada yang 20 rakaat tambah witir juga ada yang lebih dari rakaat itu. Ada juga yang setiap 2 rakaat sekali salam juga ada 4 rakaat sekali salam. Perbedaan-perbedaan tersebut haruslah disikapi dengan bijak menurut kadar ilmu yang kita miliki agar terhindar dari perselisihan dan keretakan ukhuwah.

Dikampung saya, tepatnya Kampung Kutablang Kecamatan Banda Sakti Pemerintahan Kota Lhokseumawe, Aceh (orang Aceh menyebut Kampung dengan Gampong). Ibadah tarawih juga bervariasi terutama dari jumlah rakaat, yaitu 8 dan 20 rakaat. Jamaah tarawih 20 ikut bersamaan dengan jamaah tarawih yang 8 rakaat, saat jamaah 8 selesai beserta dengan witirnya yang 20 terus melanjutkan tarawihnya, tentu dengan imam yang baru atau imam tarawih 8 yang melanjutkan tarawihnya.
Di Aceh, bisa dipastikan hanya beberapa tempat saja yang melaksanakan tarawih model seperti ini. Bahkan hampir diseluruh Aceh plaksanaan tarawih dengan jumlah 20 rakaat dan untuk tarawih 8 rakaat cuma dibeberapa Meunasah atau Mesjid saja. Tapi yang seperti dikampung saya yang saya tahu juga diterapkan di Mesjid Raya Baiturrahman Banda Aceh.

Menurut cerita dari salah satu tokoh kampung yang saya temui, Tarawih model begini sudah berjalan sejak pertama kali Meunasah (Surau) berdiri. Orang tua kampung pada masa dulu telah sepakat untuk melaksanakan ibadah tahunan tersebut dengan cara seperti ini agar masyarakat dapat melaksanakan Qiyamullail selama Ramadhan dalam kebersamaan. Kampong saya memang banyak pendatang juga dari berbagai latar belakang pendidikan. Ada Muhammadiyah, NU bahkan ada dari Syiah. Namun jika sudah menyangkut kepentingan Kampung apalagi yang masalah agama, segala perbedaan itu ditanggalkan.

Ada yang unik jika shalat tarawih dikampung saya ini. Saat jamaah tarawih yang 8 rakaat selesai dan hendak dilanjutkan witir, maka jamaah tarawih 20 akan keluar dari meunasah dan mempersilahkan jamaah tarawih 8 menyelesaikan witirnya. Tentu disini bagi jamaah tarawih 20 ada kelebihan tersendiri, diantaranya mereka bisa beristirahat sebentar sekedar menghabiskan sebatang rokok, atau menikmati makan dan minuman yang telah disediakan Bilal Mesjid dari sisa pemberian masyarakat untuk warga yang berbuka puasa di Meunasah. Setelah dilanjutkan dengan sedikit zikir dan doa, barulah kemudian jamaah tarawih 20 kembali masuk kembali ke Meunasah dan melanjutkan rakaat tarawihnya hingga selesai. Itulah sekelumit sikap teloransi yang tercipta dalam masyarakat kampung saya, meninggalkan perbedaan pada hal kecil demi mencapai kemaslahatan yang besar.

Ibarat kapal berlayar dilautan, pasti sesekali diterjang ombak. Sikap keragaman dalam perbedaan ini sempat terusik saat status Meunasah berubah menjadi Mesjid. Pada waktu itu Imam Besar Mesjid terpilih didukung oleh beberapa tokoh masyarakat hendak merubah kebiasaan lama itu dengan meniadakan witir berjamaah bagi jamaah tarawih 8. Dengan harapan mereka bisa melakukannya di rumah atau tempat lain secara sendiri-sendiri. Spontan saja sikap ini ditentang oleh jamaah bahkan dari jamaah tarawih 20 sendiri. Untuk menghindari pertentangan itu, maka diambillah jalan tengah, yakni jamaah tarawih 8 tetap melaksanakan witirnya secara berjamaah dan jamaah tarawih 20 mengikuti shalat sunat witir namun tidak meniatkan witir, tapi tetap niatnya shalat sunah tarawih. Mulai saat itulah tidak ada lagi keluar masuk jamaah tarawih 20 seperti yang saya ceritakan tadi.

Alhamdulillah, berkat sikap terbuka masyarakat kampong saya khususnya dalam hal-hal furu’iyah seperti ini, segala kegiatan yang menyangkut dengan kepentingan bersama dapat berjalan dengan baik. Yang paling fenomenal adalah kampong saya pada tahun 2009 dinobat sebagai kampung terbaik dalam pelaksaan Syari’at Islam seprovinsi Aceh. Walaupun masih ada kritikan maupun cemoohan dari dalam maupun dari luar terhadap kampung kami khususnya terkait masalah tarawih ini, kami anggap itu ibarat nyamuk di luar kelambu. Setiap desa/kampong tentu punya kebijakan dan aturan yang berbeda dengan lainnya, peraturan-peraturan tersebut selama tidak menyalahi al-Quran dan al-Hadits maka haruslah didukung dan ditaati. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar