Senin, 12 Maret 2012

GEUNTEUET MODERN

Bangsa yang beradab menjunjung tinggi nilai adat dan budayanya, jika tidak, maka jadilah ia bangsa yang terpuruk dengan kerendahan moral dan akhlak penghuninya. Adakalanya budaya dan adat istiadat yang lahir ditengah-tengah masyarakat adalah hasil dari buah pikir masyarakat itu sendiri yang dimulai dari kebiasaan-kebiasaan kecil dan terpelihara terus menerus.

Di Aceh sendiri, banyak adat dan budaya yang masih terjaga dengan baik, namun tidak sedikit juga yang mulai hilang terkikis kemajuan zaman juga karena ketidak pedulian dari masyarakat itu sendiri. Kita tidak mempermasalahkan jika yang hilang itu adat atau budaya yang muncul dari mitos atau sesuatu yang tidak diterima akal sehat, yang sangat disayangkan adalah suatu adat kebiasaan yang muncul dari kearifan masyarakat apalagi memiliki landasan kuat sebagai adat dan budaya yang harus dilestarikan sebagai suatu ciri  masyarakat yang beradab, dan salah satunya adalah budaya menghormati waktu Magrib.  

Dalam Islam, permulaan hari dimulai pada saat malam hari, dan Magrib adalah awal dari malam itu sendiri. jadi, Magrib adalah permulaan dari dimulainya hari. Diwaktu Magrib inilah terdapat adat kebiasaan masyarakat Aceh yang hingga detik ini masih terpelihara dengan baik meskipun sebagian dari mereka sudah tidak mempedulikan lagi dengan beragam alasan.

Menjelang waktu Magrib biasanya ditandai dengan suara orang mengaji yang diperdengarkan melalui pengeras suara, baik di Mesjid, Meunasah (sejenis Surau atau Mushalla) juga tempat-tempat yang dilangsungkannya shalat berjamaah maka pada saat itu seluruh aktifitas dari anak-anak hingga orang tua mulai dihentikan selanjutnya pulang kerumah masing-masing, jika tidak akan ada kemalangan yang menimpa bagi mereka yang tidak segera mengindahkan hal itu, yaitu dibawa Geunteut!

Geunteut adalah sejenis makhluk halus yang diayakini masyarakat Aceh sering bergentayangan menjelang Magrib korbannya biasa anak-anak kecil atau yang berusia remaja. Baru-baru ini peristiwa orang dibawa Geunteut sempat masuk dalam sebuah surat kabar lokal di Aceh. Diceritakan bahwa seorang anak kecil menjadi sandra si Geunteut selama tujuh jam dan baru ditemukan pukul 02.00 dini hari. tiba-tiba warga yang mencari si anak melihat korban sudah berada dekat rumah dengan kondisi seperti orang berenang, padahal sebelumnya lokasi itu sudah berulangkali dilintasi warga tapi tidak terlihat keberadaan si anak. Si anak mulai terlihat setelah salah seorang warga mengumandangkan azan (Serambi Indonesia 27/5).

Berlindung dari Kejahatan Malam
Setiap waktu yang dilalui manusia dalam kehidupan sehari-hari memiliki nilai kelebihan tersendiri, demikian juga dengan Magrib. Disamping sebagai salah satu waktu dilaksanakannya kewajiban umat Islam berupa Shalat, ternyata pada waktu menjelang Magrib terdapat satu perintah yang oleh Rasulullah sangat ditekankan kepada para sahabatnya. Beliau sangat melarang sahabat berada di luar rumah atau berkeliaran saat Magrib kecuali untuk tujuan menuju ke tempat dilaksanakannya Shalat berjamaah. Dalam Al Quran sendiri Allah memerintahkan kepada umatnya untuk berlindung dari kejahatan malam apabila gelap gulita (Q.S. Al Falaq: 3).

Merujuk kepada perintah Hadits dan Alquran inilah yang menjadi insparasi bagi masyarakat Aceh untuk menutup jendela dan pintu rumah dan menghentikan seluruh aktifitasnya menjelang Magrib dan mengisinya dengan melakukan Shalat berjamaah baik di rumah ataupun di Mesjid, Meunasah dan di tempat-tempat lain. Remaja ada yang pergi mengaji, orang tua melakukan i'tikaf, mengikuti pengajian, Anak-anak kecil biasanya dididik langsung oleh ibunya ilmu pengetahuan agama juga ilmu Al Quran sebelum di serahkan ke tempat pengajian dan kegiatan bermanfaat lainnya. Semua itu biasa dilakukan saat Magrib.

Pemandangan tersebut sepertinya tidak berlaku lagi pada masa kini, sebab masyarakat Aceh saat ini sudah banyak yang menjadi korban Geunteut. Jika dulu orang takut dengan Geunteut, sekarang masyarakat Aceh seolah-olah menyerahkan dirinya untuk kepada si Geunteut untuk dijadikan sandera dengan suka rela. Ini jelas terlihat nyata, bagaimana saat-saat menjelang Magrib dengan bebas orang-orang masih berkeliaran bebas dijalanan, nongkrong di warkop, warnet, warung-warung dipinggir jalan, tempat wisata dan ditempat-tempat yang tidak sepantasnya kita berada saat-saat menjelang Magrib. Padahal azan Magrib bergema keras di telinganya.

Ternyata, Geunteut sudah berevolusi dengan mempercantik diri sehingga melalaikan manusia yang menjadi korbannya. Geuntuet sekarang tidak lagi menakutkan tapi menyenangkan apabila berlama-lama dengannya, Geunteut sekarang tidak lagi dihindari tetapi didekati untuk dijadikan teman karib yang setia. Itulah Geunteut sekarang, "Geunteut Modern", makhluk halus yang mulai terlihat dalam wujud nyata meskipun rupanya mungkin tidak mirip dengan Geunteut-Geunteut yang diceritakan orang tua kepada anaknya. 

Tapi kita jangan lupa kepada si Geunteut asli yang konon katanya berkeliaran saat Magrib, juga menjadi alasan kuat untuk berlindung dari makhluk gaib ini. meskipun kisah Geunteut ini tidak punya landasan ilmiah yang kuat namun cerita keangkeran si Geunteut sudah menjadi buah bibir bagi masyarakat Aceh dari dulu hingga sekarang, tidak di kota tidak di kampung si Geunteut tetap dipercaya selalu bergentayangan mencari mangsa.

Menghindar dari Geunteuet 
Keberadaan Geunteut baik yang modern atau bukan tetap saja berbahaya karena bisa berimbas pada berkurangnya nilai keimanan. Dalam hal ini tentu pemerintah punya tanggung jawab besar untuk melindungi rakyatnya dari jeratan Geunteut yang semakin merajalela. tentu Geunteut-geunteut yang berkeliaran bebas menjelang Magrib.

Beberapa waktu lalu Kementrian Agama RI mencanangkan program "Gerakan Masyarakat Magrib" (Gemmar) Mengaji, tentu program ini harus didukung semua pihak guna terhindar dari si Geunteuet, bahkan Bapak Gubernur Aceh menyambutnya dengan sangat antusias. Program mempunyai banyak manfaat sebagai terobosan untuk memperbaiki akhlak. Apalagi, munculnya berbagai macam aliran sesat dan sempalan di Indonesia akibat dari kekosongan dakwah dimasyarakat.

Namun hingga detik ini langkah mulia ini cuma isapan jempol semata tidak menggema seperti yang didengungkan. Apakah pejabat di Aceh juga sudah dimangsa Geunteut? semoga tidak. Sebab saya yakin para beliau ini masih punya hati dan perasaan terhadap generasi muda Aceh menuju generasi madani apalagi menjelang PILKADA satu suara sangat berharga bagi mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar