Bangsa yang beradab menjunjung tinggi nilai adat dan
budayanya, jika tidak, maka jadilah ia bangsa yang terpuruk dengan kerendahan
moral dan akhlak penghuninya. Adakalanya budaya dan adat istiadat yang lahir
ditengah-tengah masyarakat adalah hasil dari buah pikir masyarakat itu sendiri
yang dimulai dari kebiasaan-kebiasaan kecil dan terpelihara terus menerus.
Di Aceh sendiri, banyak adat dan budaya yang masih terjaga
dengan baik, namun tidak sedikit juga yang mulai hilang terkikis kemajuan zaman
juga karena ketidak pedulian dari masyarakat itu sendiri. Kita tidak
mempermasalahkan jika yang hilang itu adat atau budaya yang muncul dari mitos
atau sesuatu yang tidak diterima akal sehat, yang sangat
disayangkan adalah suatu adat kebiasaan yang muncul dari kearifan masyarakat
apalagi memiliki landasan kuat sebagai adat dan budaya yang harus dilestarikan
sebagai suatu ciri masyarakat yang beradab, dan salah satunya adalah
budaya menghormati waktu Magrib.
Dalam Islam, permulaan hari dimulai pada saat malam hari,
dan Magrib adalah awal dari malam itu sendiri. jadi, Magrib adalah permulaan
dari dimulainya hari. Diwaktu Magrib inilah terdapat adat kebiasaan masyarakat
Aceh yang hingga detik ini masih terpelihara dengan baik meskipun sebagian dari
mereka sudah tidak mempedulikan lagi dengan beragam alasan.
Menjelang waktu Magrib biasanya ditandai dengan suara orang
mengaji yang diperdengarkan melalui pengeras suara, baik di Mesjid, Meunasah
(sejenis Surau atau Mushalla) juga tempat-tempat yang dilangsungkannya shalat
berjamaah maka pada saat itu seluruh aktifitas dari anak-anak hingga orang tua
mulai dihentikan selanjutnya pulang kerumah masing-masing, jika tidak akan ada
kemalangan yang menimpa bagi mereka yang tidak segera mengindahkan hal itu,
yaitu dibawa Geunteut!
Geunteut adalah sejenis makhluk halus yang diayakini
masyarakat Aceh sering bergentayangan menjelang Magrib korbannya biasa
anak-anak kecil atau yang berusia remaja. Baru-baru ini peristiwa orang dibawa
Geunteut sempat masuk dalam sebuah surat kabar lokal di Aceh. Diceritakan bahwa
seorang anak kecil menjadi sandra si Geunteut selama tujuh jam dan baru
ditemukan pukul 02.00 dini hari. tiba-tiba warga yang mencari si anak melihat
korban sudah berada dekat rumah dengan kondisi seperti orang berenang, padahal
sebelumnya lokasi itu sudah berulangkali dilintasi warga tapi tidak terlihat
keberadaan si anak. Si anak mulai terlihat setelah salah seorang warga
mengumandangkan azan (Serambi Indonesia 27/5).
Berlindung dari Kejahatan Malam
Setiap waktu yang dilalui manusia dalam kehidupan
sehari-hari memiliki nilai kelebihan tersendiri, demikian juga dengan Magrib.
Disamping sebagai salah satu waktu dilaksanakannya kewajiban umat Islam berupa
Shalat, ternyata pada waktu menjelang Magrib terdapat satu perintah yang oleh
Rasulullah sangat ditekankan kepada para sahabatnya. Beliau sangat melarang
sahabat berada di luar rumah atau berkeliaran saat Magrib kecuali untuk tujuan
menuju ke tempat dilaksanakannya Shalat berjamaah. Dalam Al Quran sendiri Allah
memerintahkan kepada umatnya untuk berlindung dari kejahatan malam apabila
gelap gulita (Q.S. Al Falaq: 3).
Merujuk kepada perintah Hadits dan Alquran inilah yang
menjadi insparasi bagi masyarakat Aceh untuk menutup jendela dan pintu rumah
dan menghentikan seluruh aktifitasnya menjelang Magrib dan mengisinya dengan
melakukan Shalat berjamaah baik di rumah ataupun di Mesjid, Meunasah dan di
tempat-tempat lain. Remaja ada yang pergi mengaji, orang tua melakukan i'tikaf,
mengikuti pengajian, Anak-anak kecil biasanya dididik langsung oleh ibunya ilmu
pengetahuan agama juga ilmu Al Quran sebelum di serahkan ke tempat pengajian
dan kegiatan bermanfaat lainnya. Semua itu biasa dilakukan saat Magrib.
Pemandangan tersebut sepertinya tidak berlaku lagi pada masa
kini, sebab masyarakat Aceh saat ini sudah banyak yang menjadi korban Geunteut.
Jika dulu orang takut dengan Geunteut, sekarang masyarakat Aceh seolah-olah
menyerahkan dirinya untuk kepada si Geunteut untuk dijadikan sandera dengan
suka rela. Ini jelas terlihat nyata, bagaimana saat-saat menjelang Magrib
dengan bebas orang-orang masih berkeliaran bebas dijalanan, nongkrong di
warkop, warnet, warung-warung dipinggir jalan, tempat wisata dan
ditempat-tempat yang tidak sepantasnya kita berada saat-saat menjelang Magrib.
Padahal azan Magrib bergema keras di telinganya.
Ternyata, Geunteut sudah berevolusi dengan mempercantik diri
sehingga melalaikan manusia yang menjadi korbannya. Geuntuet sekarang tidak
lagi menakutkan tapi menyenangkan apabila berlama-lama dengannya, Geunteut
sekarang tidak lagi dihindari tetapi didekati untuk dijadikan teman karib yang
setia. Itulah Geunteut sekarang, "Geunteut Modern", makhluk halus
yang mulai terlihat dalam wujud nyata meskipun rupanya mungkin tidak mirip
dengan Geunteut-Geunteut yang diceritakan orang tua kepada anaknya.
Tapi kita jangan lupa kepada si Geunteut asli yang konon katanya
berkeliaran saat Magrib, juga menjadi alasan kuat untuk berlindung dari makhluk
gaib ini. meskipun kisah Geunteut ini tidak punya landasan ilmiah yang kuat
namun cerita keangkeran si Geunteut sudah menjadi buah bibir bagi masyarakat
Aceh dari dulu hingga sekarang, tidak di kota tidak di kampung si Geunteut
tetap dipercaya selalu bergentayangan mencari mangsa.
Menghindar dari Geunteuet
Keberadaan Geunteut baik yang modern atau bukan tetap saja
berbahaya karena bisa berimbas pada berkurangnya nilai keimanan. Dalam hal ini
tentu pemerintah punya tanggung jawab besar untuk melindungi rakyatnya dari
jeratan Geunteut yang semakin merajalela. tentu Geunteut-geunteut yang
berkeliaran bebas menjelang Magrib.
Beberapa waktu lalu Kementrian Agama RI mencanangkan program
"Gerakan Masyarakat Magrib" (Gemmar) Mengaji, tentu program ini harus
didukung semua pihak guna terhindar dari si Geunteuet, bahkan Bapak Gubernur
Aceh menyambutnya dengan sangat antusias. Program mempunyai banyak manfaat
sebagai terobosan untuk memperbaiki akhlak. Apalagi, munculnya berbagai macam
aliran sesat dan sempalan di Indonesia akibat dari kekosongan dakwah dimasyarakat.
Namun hingga detik ini langkah mulia ini cuma isapan jempol semata tidak menggema seperti yang didengungkan. Apakah pejabat di Aceh juga sudah dimangsa Geunteut? semoga tidak. Sebab saya yakin para beliau ini masih punya hati dan perasaan terhadap generasi muda Aceh menuju generasi madani apalagi menjelang PILKADA satu suara sangat berharga bagi mereka.
Namun hingga detik ini langkah mulia ini cuma isapan jempol semata tidak menggema seperti yang didengungkan. Apakah pejabat di Aceh juga sudah dimangsa Geunteut? semoga tidak. Sebab saya yakin para beliau ini masih punya hati dan perasaan terhadap generasi muda Aceh menuju generasi madani apalagi menjelang PILKADA satu suara sangat berharga bagi mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar